Revitalisasi Pendidikan di Indonesia: Dari Kebijakan hingga Implementasi Nyata
Pendidikan di Indonesia telah menempuh perjalanan panjang, dari masa penjajahan hingga era kemerdekaan, dari kurikulum berbasis hafalan hingga pendidikan berbasis karakter. Beragam kebijakan telah lahir dengan semangat perubahan: Kurikulum 2013, Program Merdeka Belajar, hingga Kurikulum Merdeka. Namun, di tengah derasnya arus pembaruan, muncul pertanyaan yang menggelitik hati: sejauh mana semua ini benar-benar berdampak nyata dalam kehidupan anak-anak bangsa?
Revitalisasi pendidikan bukan hanya tentang melahirkan regulasi baru, bukan pula sekadar mengganti istilah dan konsep. Revitalisasi sejati menuntut perubahan yang hidup dalam praktik sehari-hari, perubahan yang terasa dalam cara guru mengajar, dalam cara siswa belajar, dalam suasana sekolah yang memberi ruang tumbuh bagi potensi dan karakter. Pendidikan bukanlah papan tulis yang berganti warna, melainkan taman yang harus dirawat dengan penuh cinta, ketekunan, dan visi yang jauh ke depan.
Sayangnya, dalam banyak kasus,
kebijakan-kebijakan yang lahir dari ruang-ruang rapat seringkali kehilangan ruh
ketika sampai ke ruang-ruang kelas. Implementasi masih menjadi tantangan besar.
Banyak guru yang kebingungan menerjemahkan semangat kurikulum baru ke dalam
pembelajaran nyata, karena pelatihan yang minim, sumber daya yang terbatas,
atau beban administratif yang justru semakin berat. Di sisi lain,
sekolah-sekolah di daerah terpencil masih bergulat dengan persoalan dasar:
kekurangan guru, fasilitas yang memprihatinkan, keterbatasan akses teknologi.
Semua ini menegaskan bahwa revitalisasi pendidikan tidak cukup hanya dengan
membuat kebijakan di atas kertas. Ia harus disertai dengan pendampingan yang
tulus, pemberdayaan yang nyata, dan keberanian untuk mendengarkan suara-suara
dari lapangan. Sebab pendidikan bukan terjadi di pusat kekuasaan, melainkan di
ruang-ruang kelas, di desa-desa kecil, di mata anak-anak yang menyalakan
harapan.
Namun, di tengah segala tantangan itu, ada
alasan untuk tetap percaya. Kita melihat gerakan-gerakan kecil yang menggugah
hati: guru-guru yang dengan kreatif mengubah kelas seadanya menjadi ruang
belajar yang penuh semangat, komunitas-komunitas lokal yang membangun
perpustakaan dari sumbangan buku bekas, siswa-siswa yang dengan keterbatasan
sarana tetap berprestasi hingga ke tingkat dunia. Semua itu membuktikan bahwa
potensi bangsa ini luar biasa, hanya menunggu untuk difasilitasi, dibimbing,
dan diberi kepercayaan. Revitalisasi pendidikan sejati membutuhkan keberanian
untuk bertransformasi dari hulu ke hilir: memperbaiki sistem rekrutmen dan
pelatihan guru, memperkuat budaya literasi dan numerasi sejak dini, memastikan
setiap kebijakan diuji relevansinya dengan realitas di lapangan, dan yang tak
kalah penting, memanusiakan pendidikan — menjadikannya ruang untuk tumbuh,
bukan sekadar ruang untuk menghafal.
Dalam era globalisasi dan revolusi industri
4.0 ini, revitalisasi pendidikan juga berarti membekali anak-anak Indonesia
dengan keterampilan abad 21: berpikir kritis, kreativitas, kolaborasi,
komunikasi, serta kecakapan adaptif dalam menghadapi perubahan. Pendidikan
tidak lagi bisa terjebak dalam paradigma lama yang hanya mengejar angka-angka
ujian. Pendidikan harus mengajarkan cara berpikir, bukan sekadar apa yang harus
dipikirkan. Ia harus menumbuhkan rasa ingin tahu, keberanian untuk mencoba, dan
ketangguhan dalam menghadapi kegagalan. Pendidikan harus mampu menghubungkan
ilmu dengan kehidupan nyata, membangun empati sosial, dan menanamkan rasa
tanggung jawab terhadap sesama dan terhadap bumi yang kita huni bersama.
Revitalisasi juga menuntut adanya sinergi
kuat antara pemerintah, dunia usaha, komunitas, orang tua, dan masyarakat luas.
Tidak ada satu pihak pun yang bisa berjalan sendiri. Pendidikan adalah kerja
besar kolektif. Pemerintah perlu memastikan kebijakan yang adil, sumber daya
yang merata, dan evaluasi yang jujur. Guru perlu diberdayakan sebagai ujung
tombak perubahan. Orang tua perlu terlibat aktif dalam proses pendidikan anak,
bukan hanya menyerahkan sepenuhnya kepada sekolah. Dunia usaha perlu mendukung
pengembangan keterampilan yang relevan dengan kebutuhan zaman. Dan masyarakat
luas perlu membangun budaya yang menghargai ilmu, kreativitas, dan kerja keras.
Jika revitalisasi pendidikan hanya berhenti pada retorika, maka kita akan kehilangan momentum. Tapi jika revitalisasi ini benar-benar dihidupi dalam tindakan nyata, maka masa depan Indonesia akan ditentukan oleh generasi yang lebih siap, lebih berkarakter, dan lebih berdaya saing. Masa depan itu bukan sesuatu yang kita tunggu, tapi sesuatu yang kita ciptakan hari ini, lewat setiap keputusan, setiap tindakan kecil, setiap pelajaran yang disampaikan dengan cinta, dan setiap ruang kelas yang menjadi taman pertumbuhan, bukan sekadar tempat duduk dan papan tulis. Revitalisasi pendidikan bukanlah proyek jangka pendek, melainkan perjalan panjang penuh harapan, tantangan, dan kerja keras. Dan perjalanan itu, dengan segala kerumitannya, adalah jalan yang harus kita tempuh bersama — demi anak-anak bangsa, demi Indonesia yang lebih berilmu, berkarakter, dan bermartabat.
Bustanul Arifin, S.Pd.I., M.Pd (Praktisi Pendidikan)