Generasi Emas 2045: Wacana Besar, Aksi Kecil?

Table of Contents

Artikel ini mengulas wacana Generasi Emas 2045 sebagai visi besar Indonesia untuk menjadi negara maju di usia 100 tahun kemerdekaan. Namun, artikel ini menyoroti ketimpangan antara semangat retorika dan realitas implementasi di lapangan. Tantangan seperti rendahnya kualitas pendidikan, belum meratanya literasi digital, dan kurangnya kesiapan tenaga kerja menjadi sorotan utama. Artikel ini mengajak semua pihak untuk beralih dari sekadar wacana menuju aksi nyata demi mewujudkan generasi unggul di masa depan.

Sejak beberapa tahun terakhir, istilah Generasi Emas 2045 kerap digaungkan dalam berbagai forum nasional, pidato kenegaraan, hingga materi kebijakan pendidikan dan pembangunan. Istilah ini merujuk pada harapan besar Indonesia menyambut usia 100 tahun kemerdekaannya pada tahun 2045, dengan visi menjadi negara maju, berdaya saing tinggi, serta memiliki sumber daya manusia (SDM) unggul. Namun, di tengah gencarnya wacana tersebut, muncul pertanyaan kritis: apakah langkah-langkah konkret untuk mencapainya telah cukup kuat, ataukah kita hanya terjebak dalam retorika besar dengan aksi yang kecil?

Visi Besar di Atas Kertas

Secara konseptual, visi Generasi Emas 2045 mencakup empat pilar utama: pembangunan manusia dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, pembangunan ekonomi berkelanjutan, pemerataan pembangunan, serta ketahanan nasional dan tata kelola pemerintahan. Pemerintah telah mencanangkan berbagai program untuk mendukungnya, seperti Program Indonesia Pintar, peningkatan anggaran pendidikan, penguatan kurikulum Merdeka, hingga proyek-proyek infrastruktur digital dan konektivitas.

Di atas kertas, semua tampak menjanjikan. Narasi tentang revolusi industri 4.0, transformasi digital, dan pembangunan karakter anak bangsa menjadi bagian penting dari wacana kebijakan publik. Namun, kenyataan di lapangan sering kali belum mencerminkan semangat besar tersebut. Kesenjangan kualitas pendidikan antar wilayah, ketimpangan akses terhadap teknologi, dan rendahnya literasi digital serta budaya baca masih menjadi hambatan yang signifikan.

Pendidikan: Pilar Utama yang Masih Rapuh

Pendidikan sejatinya adalah fondasi utama dalam menyiapkan SDM unggul. Namun, data menunjukkan bahwa tantangan pendidikan di Indonesia masih kompleks. Hasil asesmen nasional dan internasional (seperti PISA) menunjukkan bahwa kemampuan literasi, numerasi, dan sains siswa Indonesia masih berada di bawah rata-rata. Sementara itu, sebagian besar guru masih kesulitan menerapkan pendekatan pembelajaran aktif, reflektif, dan kontekstual sebagaimana diharapkan dalam Kurikulum Merdeka.

Kebijakan kadang berubah terlalu cepat tanpa kesiapan yang memadai di lapangan. Misalnya, transisi ke kurikulum baru kerap dilakukan tanpa pelatihan menyeluruh, sementara fasilitas di banyak sekolah masih sangat terbatas. Di beberapa daerah terpencil, akses internet masih menjadi kemewahan. Di sisi lain, urbanisasi dan tekanan sosial di kota besar menciptakan tantangan lain: stres akademik, krisis identitas, dan minimnya pengembangan karakter.

Bonus Demografi: Peluang atau Beban?

Indonesia tengah menikmati apa yang disebut sebagai bonus demografi, yakni kondisi ketika proporsi usia produktif (15-64 tahun) jauh lebih besar dibanding usia nonproduktif. Periode ini merupakan kesempatan emas yang jika dikelola dengan baik, bisa membawa lompatan besar dalam pembangunan ekonomi dan sosial. Namun, bonus ini bersifat sementara dan bisa menjadi bumerang jika tidak dibarengi dengan penciptaan lapangan kerja, peningkatan kualitas SDM, dan kesiapan menghadapi tantangan global.

Sayangnya, data pengangguran lulusan perguruan tinggi masih cukup tinggi. Banyak lulusan yang tidak siap menghadapi dunia kerja karena minimnya keterampilan praktis dan pemahaman industri. Hal ini menandakan adanya mismatch antara pendidikan dan kebutuhan dunia kerja, sebuah persoalan klasik yang hingga kini belum terpecahkan secara menyeluruh.

Aksi Nyata yang Diperlukan

Untuk mewujudkan Generasi Emas 2045 bukan hanya dibutuhkan visi dan rencana besar, tetapi juga aksi nyata yang konsisten, terarah, dan terukur. Beberapa langkah penting yang perlu diperkuat antara lain:

  • Penguatan kualitas guru dan tenaga pendidik, bukan hanya melalui pelatihan teknis, tetapi juga pendampingan dalam praktik nyata di kelas.
  • Inklusi teknologi secara merata, bukan hanya memberikan perangkat, tetapi juga pelatihan dan pendampingan literasi digital yang menyeluruh.
  • Revitalisasi pendidikan vokasi dan keterampilan kerja, agar lulusan benar-benar siap menghadapi tuntutan zaman.
  • Pembentukan karakter dan nilai kebangsaan, agar generasi muda tidak hanya pintar secara akademik, tetapi juga memiliki integritas, semangat kolaborasi, dan kepedulian sosial.
  • Pemberdayaan keluarga dan masyarakat, karena pendidikan tidak bisa hanya dibebankan pada sekolah.

Penutup: Jangan Hanya Jadi Slogan

Generasi Emas 2045 adalah cita-cita yang mulia dan realistis untuk dicapai, selama kita tidak terjebak dalam euforia wacana semata. Tanpa aksi nyata yang konsisten dari semua pemangku kepentingan—pemerintah, pendidik, orang tua, masyarakat, dan dunia usaha—maka impian besar itu hanya akan menjadi slogan kosong yang terlupakan oleh waktu.

Kini saatnya semua pihak berhenti sekadar berwacana dan mulai beraksi. Karena masa depan Indonesia tidak ditentukan oleh pidato hari ini, tetapi oleh tindakan yang dilakukan setiap harinya, mulai dari ruang kelas, rumah, hingga kantor pemerintahan.

Bustanul Arifin, S.Pd.I., M.Pd (Praktisi Pendidikan)

Dapatkan update terkini langsung di ponselmu! Ikuti berita pilihan dan informasi terbaru dari abahbustan.my.id melalui WhatsApp Channel Abah Bustan. Pastikan kamu sudah menginstal aplikasi WhatsApp, ya!

Posting Komentar