Membangun Harmonisasi Kurikulum Nasional dan Kurikulum Diniyah di Pesantren

Table of Contents

Strategi Integratif dalam Menyiapkan Generasi Ulama Intelektual

(Telaah Kritis atas Sinkronisasi Kurikulum Kemdikbud/Kemenag dengan Sistem Pendidikan Khas Pesantren)

Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang telah lama menjadi pilar peradaban Indonesia. Dalam sejarahnya, pesantren tidak hanya mencetak ulama yang mumpuni dalam ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga membentuk pribadi yang berakhlak mulia dan berjiwa kepemimpinan. Di tengah arus globalisasi dan modernisasi pendidikan, pesantren menghadapi tantangan besar untuk tetap menjaga jati diri sambil merespons kebutuhan zaman, termasuk dalam hal integrasi kurikulum. Pengakuan formal terhadap pesantren melalui Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 mengukuhkan posisi strategis pesantren dalam sistem pendidikan nasional. Namun, hal ini juga menuntut pesantren untuk dapat menyelaraskan kurikulum khasnya dengan kurikulum nasional yang diterapkan oleh Kemdikbud atau Kemenag.

Ngaji

Realitas Dualisme Kurikulum

Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa banyak pesantren menjalankan dua sistem kurikulum secara bersamaan. Di satu sisi, terdapat kurikulum diniyah yang fokus pada penguasaan kitab-kitab klasik, ilmu alat, fikih, tafsir, dan tasawuf, dengan metode pengajaran yang khas seperti sorogan, bandongan, dan halaqah. Di sisi lain, terdapat kurikulum nasional yang mencakup mata pelajaran umum seperti matematika, IPA, bahasa Indonesia, dan lainnya, yang disampaikan dalam format formal sesuai standar pendidikan nasional. Dualisme ini sering kali menimbulkan tantangan tersendiri, baik dalam hal waktu, tenaga, maupun orientasi pendidikan. Santri harus menjalani proses belajar yang panjang dan padat, yang kadang mengakibatkan ketidakseimbangan fokus antara pendidikan agama dan umum.

Tantangan Sinkronisasi

Upaya harmonisasi kedua kurikulum ini menghadapi sejumlah hambatan yang kompleks. Salah satunya adalah perbedaan pendekatan epistemologis antara keduanya. Kurikulum nasional mengedepankan pendekatan saintifik dan berbasis kompetensi, sedangkan kurikulum diniyah lebih bersifat tekstual, tradisional, dan berakar pada sanad keilmuan. Selain itu, tantangan juga datang dari aspek sumber daya manusia. Banyak guru diniyah yang belum terbiasa dengan metode pembelajaran modern, dan sebaliknya, guru pelajaran umum belum memahami budaya akademik khas pesantren. Ketimpangan ini berpengaruh pada kualitas pembelajaran yang tidak seimbang. Belum lagi soal manajemen waktu yang menuntut santri untuk aktif dari pagi hingga malam, yang bisa menyebabkan kelelahan dan kejenuhan.

Perbedaan standar penilaian juga menjadi tantangan tersendiri. Kurikulum nasional menekankan capaian akademik dalam bentuk angka, sementara pendidikan pesantren lebih menilai proses, adab, dan keberkahan ilmu. Hal ini menyulitkan dalam menyusun sistem evaluasi terpadu yang adil dan mencerminkan kualitas pembelajaran secara menyeluruh.

Strategi Integratif dan Solutif

Dalam menghadapi realitas tersebut, pesantren perlu menerapkan strategi integratif yang tidak hanya administratif, tetapi juga transformatif. Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan adalah merancang kurikulum kontekstual yang mengaitkan nilai-nilai Islam dengan isu-isu kontemporer. Misalnya, dalam pelajaran sains, bisa dimasukkan nilai-nilai tauhid dan refleksi keagamaan atas ciptaan Allah, sehingga ilmu tidak berdiri sendiri, tetapi menyatu dengan spiritualitas.

Kolaborasi antara guru agama dan guru umum juga penting dibangun. Pelatihan bersama, pengembangan komunitas belajar, serta pembelajaran kolaboratif dapat mendorong sinergi antarpendidik dengan latar belakang berbeda. Dengan demikian, pendidikan di pesantren tidak lagi terkotak-kotak antara agama dan umum, tetapi menyatu dalam satu visi pembentukan manusia seutuhnya.

Selain itu, integrasi nilai karakter ke dalam semua mata pelajaran akan menguatkan pesantren sebagai lembaga pembinaan akhlak. Pelajaran matematika pun bisa mengajarkan kejujuran dan ketekunan, sementara pelajaran IPS dapat mengangkat nilai-nilai keadilan sosial dan kepemimpinan Rasulullah. Strategi ini memperkuat dimensi holistik dalam pembelajaran.

Di sisi manajemen, pesantren perlu membentuk tim pengembang kurikulum yang memahami dua sisi tersebut. Tim ini bertugas menyusun kalender akademik terpadu, jadwal belajar yang manusiawi, serta evaluasi yang mengukur capaian secara proporsional. Pemanfaatan teknologi juga tidak bisa diabaikan. Digitalisasi materi ajar, platform e-learning, hingga media pembelajaran berbasis pesantren dapat menjadi jembatan bagi integrasi yang efisien dan menarik bagi santri generasi digital.

Menyiapkan Ulama Intelektual

Puncak dari proses integratif ini adalah lahirnya generasi ulama intelektual—santri yang tidak hanya mendalami ilmu agama, tetapi juga menguasai ilmu pengetahuan modern, peka terhadap dinamika sosial, serta mampu berdakwah secara cerdas dan bijak. Generasi ini akan menjadi penyambung antara warisan keilmuan klasik dan tantangan dunia modern. Mereka tidak hanya menjadi penjaga tradisi, tetapi juga inovator dalam membumikan nilai-nilai Islam secara kontekstual.

Dalam konteks kebangsaan, keberadaan ulama intelektual sangat dibutuhkan untuk menjawab berbagai tantangan umat: mulai dari isu radikalisme, krisis moral, kesenjangan ekonomi, hingga tantangan lingkungan hidup. Pesantren yang mampu melahirkan generasi seperti ini akan menjadi agen perubahan yang strategis dan relevan di era transformasi global.

Penutup

Harmonisasi kurikulum nasional dan diniyah di pesantren bukanlah wacana retoris, tetapi merupakan kebutuhan strategis untuk menjaga relevansi dan keberlanjutan pesantren dalam dunia pendidikan modern. Dengan strategi integratif yang adaptif dan kontekstual, pesantren tidak hanya akan tetap eksis, tetapi juga akan menjadi pionir dalam mencetak generasi ulama intelektual yang mampu menjawab persoalan umat dan bangsa secara arif dan solutif. Pesantren harus terus bergerak maju, tanpa kehilangan akar tradisinya yang luhur.



Posting Komentar